Rabu, 27 Oktober 2010

Antonio Perdias & Nepi Harumkan nama asrama atas prestasinya

Hari ini telah berlangsung WISUDA AKPER PEMKAB KAPUAS, yang menarik pada wisuda kali ini adalah anak-anak asrama AKPER kembali menoreh prestasi sebagai mahasiswa dengan IPK yang memuaskan alias "A" bro,..woow sebagai anak asrama yang Insya Allah tahun depan juga bakal wisuda, harus punya target IPK di puncak dan yang paling penting aplikasi entar dilapangan..
Mahasiswa AKPER yang tinggal di ASRAMA dan memperoleh prestasi terbaik :
  1. Antonio Ferdias (Terbaik Ke-3 kelas A reguler)
  2. Nepi ( Terbaik ke-3 kelas B reguler)

Fleksi pada lutut

Fleksi Kuat Pada Lutut

Otot-otot leher,lapisan kedua

Selasa, 26 Oktober 2010

Askep Fraktur

1. Pengertian
a Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2. Anatomi Dan Fisiologi
a Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
b Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)

c Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.


e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6. Dampak Masalah

Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a Terhadap Klien
1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi

2) Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3) Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4) Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)


c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.


(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.


(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi


DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.

Enzim

Enzim atau biokatalisator adalah katalisator organik yang dihasilkan oleh sel. Enzim sangat penting dalam kehidupan, karena semua reaksi metabolisme dikatalis oleh enzim. Jika tidak ada enzim, atau aktivitas enzim terganggu maka reaksi metabolisme sel akan terhambat hingga pertumbuhan sel juga terganggu.
Reaksi-reaksi enzimatik dibutuhkan agar bakteri dapat memperoleh makanan/nutrient dalam keadaan terlarut yang dapat diserap ke dalam sel, memperoleh energi Kimia yang digunakan untuk biosintesis, perkembangbiakan, pergerakan, dan lain-lain.

1. Nomenklatur Enzim
Biasanya enzim mempunyai akhiran –ase. Di depan –ase digunakan nama substrat di mana enzim itu bekerja., atau nama reaksi yang dikatalisis. Misal : selulase, dehidrogenase, urease, dan lain-lain. Tetapi pedoman pemberian nama tersebut diatas tidak selalu digunakan. Hal ini disebabkan nama tersebut digunakan sebelum pedoman pemberian nama diterima dan nama tersebut sudah umum digunakan. Misalnya pepsin, tripsin, dan lain-lain. Dalam Daftar Istilah Kimia Organik (1978), akhiran –ase tersebut diganti dengan –asa.

2. Struktur Enzim
Pada mulanya enzim dianggap hanya terdiri dari protein dan memang ada enzim yang ternyata hanya tersusun dari protein saja. Misalnya pepsin dan tripsin. Tetapi ada juga enzim-enzim yang selain protein juga memerlukan komponen selain protein. Komponen selain protein pada enzim dinamakan kofaktor. Kofaktor dapat merupakan ion logam/metal, atau molekul organik yang dinamakan koenzim. Gabungan antara bagian protein enzim (apoenzim) dan kofaktor dinamakan holoenzim.
Enzim yang memerlukan ion logam sebagai kofaktornya dinamakan metaloenzim. Ion logam ini berfungsi untuk menjadi pusat katalis primer, menjadi tempat untuk mengikat substrat, dan sebagai stabilisator supaya enzim tetap aktif.

Tabel 1. Beberapa enzim yang mengandung ion logam sebagai kofaktornya
Ion logam Enzim
Zn 2+



Mg2+


Fe2+ / Fe3+




Cu2+/ Cu+


K+

Na+

Alkohol dehidrogenase
Karbonat anhidrase
Karboksipeptidase

Fosfohidrolase
Fosfotransferase

Sitokrom
Peroksidase
Katalase
Feredoksin

Tirosinase
Sitokrom oksidase

Piruvat kinase (juga memerlukan Mg2+)

Membrane sel ATPase ( juga memerlukan K+ dan Mg2+)



3. Aktivitas Enzim
Seperti halnya katalisator, enzim dapat mempercepat reaksi kimia dengan menurunkan energi aktivasinya. Enzim tersebut akan bergabung sementara dengan reaktan sehingga mencapai keadaan transisi dengan energi aktivasi yang lebih rendah daripada energi aktivasi yang diperlukan untuk mencapai keadaan transisi tanpa bantuan katalisator atau enzim.

4. Penggolongan (Klasifikasi) enzim
1. Hidrolase
Hidrolase merupakan enzim-enzim yang menguraikan suatu zat dengan pertolongan air. Hidrolase dibagi atas kelompok kecil berdasarkan substratnya yaitu :
A. Karbohidrase, yaitu enzim-enzim yang menguraikan golongan karbohidrat.
Kelompok ini masih dipecah lagi menurut karbohidrat yang diuraikannya, misal :
a. Amilase, yaitu enzim yang menguraikan amilum (suatu polisakarida) menjadi maltosa (suatu disakarida).

2 (C6H10O5)n + n H2O n C12H22O11


b. Maltase, yaitu enzim yang menguraikan maltosa menjadi glukosa

C12H22O11 + H20 2 C6H12O6


c. Sukrase, yaitu enzim yang mengubah sukrosa (gula tebu) menjadi glukosa dan fruktosa.
d. Laktase, yaitu enzim yang mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
e. Selulase, emzim yang menguraikan selulosa ( suatu polisakarida) menjadi selobiosa ( suatu disakarida)
f. Pektinase, yaitu enzim yang menguraikan pektin menjadi asam-pektin.

B. Esterase, yaitu enzim-enzim yang memecah golongan ester.
Contoh-contohnya :
a. Lipase, yaitu enzim yang menguraikan lemak menjadi gliserol dan asam lemak.
b. Fosfatase, yaitu enzim yang menguraikan suatu ester hingga terlepas asam fosfat.

C. Proteinase atau Protease, yaitu enzim enzim yang menguraikan golongan protein.
Contoh-contohnya:
a. Peptidase, yaitu enzim yang menguraikan peptida menjadi asam amino.
b. Gelatinase, yaitu enzim yang menguraikan gelatin.
c. Renin, yaitu enzim yang menguraikan kasein dari susu.

2. Oksidase dan reduktase , yaitu enzim yang menolong dalam proses oksidasi dan reduksi.
Enzim Oksidase dibagi lagi menjadi;
a. Dehidrogenase : enzim ini memegang peranan penting dalam mengubah zat-zat organik menjadi hasil-hasil oksidasi.
b. Katalase : enzim yang menguraikan hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen.



3. Desmolase , yaitu enzim-enzim yang memutuskan ikatan-ikatan C-C, C-N dan beberapa ikatan lainnya.
Enzim Desmolase dibagi lagi menjadi :
a. Karboksilase : yaitu enzim yang mengubah asam piruvat menjadi asetaldehida.
b. Transaminase : yaitu enzim yang memindahkan gugusan amin dari suatu asam amino ke suatu asam organik sehingga yang terakhir ini berubah menjadi suatu asam amino.

Enzim juga dapat dibedakan menjadi eksoenzim dan endoenzim berdasarkan tempat kerjanya, ditinjau dari sel yang membentuknya. Eksoenzim ialah enzim yang aktivitasnya diluar sel. Endoenzim ialah enzim yang aktivitasnya didalam sel.
Selain eksoenzim dan endoenzim, dikenal juga enzim konstitutif dan enzim induktif. Enzim konstitutif ialah enzim yang dibentuk terus-menerus oleh sel tanpa peduli apakah substratnya ada atau tidak. Enzim induktif (enzim adaptif) ialah enzim yang dibentuk karena adanya rangsangan substrat atau senyawa tertentu yang lain. Misalnya pembentukan enzim beta-galaktosida pada escherichia coli yang diinduksi oleh laktosa sebagai substratnya. Tetapi ada senyawa lain juga yang dapat menginduksi enzim tersebut walaupun tidak merupakan substarnya, yaitu melibiosa. Tanpa adanya laktosa atau melibiosa, maka enzim beta-galaktosidasa tidak disintesis, tetapi sintesisnya akan dimulai bila ditambahkan laktosa atau melibiosa.

5. Koenzim
Dalam peranannya, enzim sering memerlukan senyawa organik tertentu selain protein. Ditinjau dari fungsinya, dikenal adanya koenzim yang berperan sebagai pemindah hidrogen, pemindah elektron, pemindah gugusan kimia tertentu (“group transferring”) dan koenzim dari isomerase dan liase.


Tabel 2. Contoh-contoh koenzim dan peranannya
No Kode Singkatan dari Yang dipindahkan
1. NAD Nikotinamida-adenina dinukleotida Hidrogen
2. NADP Nikotinamida-adenina dinukleotida fosfat Hidrogen
3. FMN Flavin mononukleotida Hidrogen
4. FAD Flavin-adenina dinukleotida Hidrogen
5. Ko-Q Koenzim Q atau Quinon Hidrogen
6. Sit Sitokrom Elektron
7. Fd Ferredoksin Elektron
8. ATP Adenosina trifosfat Gugus fosfat
9. PAPS Fosfoadenil sulfat Gugus sulfat
10. UDP Uridina difosfat Gula
11. Biotin Biotin Karboksil (CO2)
12. Ko-A Koenzim A Asetil
13. TPP Tiamin pirofosfat C2-aldehida

Proenzim = Zymogen
• Enzim yang diproduksi dalam bentuk inaktif
• Tujuan:
– Melindungi tubuh dari autodigesti
– Melayani kebutuhan enzim tertentu dengan cepat
• Contoh:
– Pepsinogen → Pepsin
– Tripsinogen → Tripsin
– Kimotripsinogen → Kimotripsin

ASKEP ANEMIA

A. PENGKAJIAN
Data yang dapat diperoleh dari wawancara :
1. Riwayat kesehatan keluarga
a. Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita hal yang sama? (tiga generasi)
b. Apa yang menyebabkan dan sudah berapa lama menderita anemia defisiensi zat besi
c. Apakah yang dirasakan sama? Bagaimana?
2. Riwayat kesehatan dahulu
a. Apakah sudah pernah menderita sakit ini sebelumnya?
b. Berapa lama?
c. Pengobatan yang telah dijalani?
d. Penyebabnya apa?
e. Tanda gejala yang dirasakan?
f. Apakah pernah menderita penyakit dalam sebelumnya? Apa?
g. Apakah ada riwayat perdarahan
h. Riwayat tumbang saat kecil
i. Apakah adanya gangguan absorbsi
3. Riwayat kesehatan sekarang
a. Keluhan utama
- Apa yang paling dirasakan pasien?
b. Keluhan tambahan
- Apakah pasien merasa kelelahan
- Apakah pasien sakit kepala?
- Apakah merasa cepat letih?
- Apakah penglihatan berkunang-kunang?
- Apakah telinga berdering?
4. Data objektif
a. Muka pucat
b. Lesu
c. Nadi lemah dan cepat
5. Data subjektif
a. Keluhan dingin
b. Sakit kepala
c. Sesak nafas
d. Mengeluh lemah
6. Pengkajian menurut Doengoes,Moorhouse,dan Ceissler (1999:569)
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala :
- Keletihan, kelemahan, malaise umum
- Kehilangan produktivitas, penurunan semangat untuk kerja
- Toleransi terhadap latihan rendah
- Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda :
- Takikardia/takipnea; dispnea pada bekerja atau istirahat
- Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya
- Kelemahan otot dan penurunan kekuatan
- Ataksia, tubuh tidak tegak
- Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan keletihan
b. Sirkulasi
Gejala :
- Riwayat kehilangan darah kronis
- Riwayat endokarditis infektif kronis
- Palpitasi (takikardia kompensasi)
Tanda :
- TD: peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural
- Disritmia: abnormalitas EKG
- Bunyi jantung: murmur sistolik
- Ekstremitas: pucat pada kulit dan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibit) dan dasar kuku
- Sklera: biru atau putih seperti mutiara
- Pengisian kapiler menghambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonstriksi kompensasi)
- Kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok
- Rambut: kering, mudah putus, menipis; tumbuh uban secara premature
c. Integritas ego
Gejala : Keyakinan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan
Tanda : Depresi
d. Eliminasi
Gejala :
- Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
- Flatulen, sindrom malabsorpsi
- Hematemesis, feses dengan darah segar, melena
- Diare atau konstipasi
- Penurunan haluaran urine
Tanda : Distensi abdomen
e. Nutrisi
Gejala :
- Penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi
- Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan
- Mual/muntah, dispepsia, anoreksia
- Adanya penurunan berat badan
- Tidak pernah puas mengunyah atau pika untuk es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya
Tanda :
- Lidah tampak merah daging/halus
- Membran mukosa kering, pucat
- Turgor kulit: buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas
- Stomatitis dan glositis
- Bibir: selitis
f. Higiene
Tanda : Kurang bertenaga, penampilan tak rapih
g. Neurosensori
Gejala :
- Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
- Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata
- Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah; parestesia tangan/kaki; klaudikasi
- Sensansi menjadi dingin
Tanda :
- Peka rangsang, gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis
- Mental: tak mampu berespons lambat dan dangkal
- Oftalmik: hemoragis retina
- Epistaksis, perdarahan dari lubang-lubang
- Gangguan koordinasi, ataksia: penurunan rasa getar dan posisi, tanda Romberg positif, paralisis
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen samar; sakit kepala
i. Pernapasan
Gejala :
- Riwayat TB, absent paru
- Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
Tanda : Takipnea, ortopnea, dan dispnea
j. Keamanan
Gejala :
- Riwayat pekerjaan terpajan teradap bahan kimia
- Riwayat terpajan pada radiasi baik sebagai pengobatan atau kecelakaan
- Riwayat kanker, terapi kanker
- Tidak toleran terhadap dingin dan/atau panas
- Transfusi darah sebelumnya
- Gangguan penglihatan
- Penyembuhan luka buruk, sering infeksi
Tanda :
- Demam rendah, menggigil, berkeringat malam
- Limfadenopati umum
- Petekie dan ekimosis
k. Seksualitas
Gejala :
- Perubahan aliran menstruasi
- Hilang libido
- Impoten
Tanda : Serviks dan dinding vagina pucat
7. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
- Melihat keadaan umum pasien
- Adanya perdarahan
b. Palpasi
- Menunjukkan kepekaan miokard karena hipoksemia
- Pengisian darah ke kapiler
c. Auskultasi
- Apakah jantung berdebar?
8. Pemeriksaan diagnostik
a. JDL di bawah nilai normal (Hb, hematokrit, dan sel darah merah)
b. Peritin dan kadar besi serum rendah pada anemia defisiensi besi
c. Kadar B12 serum rendah pada anemia pernisiosa
d. Hb elektroforesin mengidentifikasi tipe Hb abnormal pada penyakit sel sabit
e. Tes schilling digunakan untuk mendiagnosa defisiensi B12

B. DIAGNOSA
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
3. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi HB darah
4. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik
5. Cemas berhubungan dengan penurunan cardiac output jantung

C. INTERVENSI
Dx I : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan dapat beraktivitas dengan normal
NOC : Penghematan energi
Kriteria hasil :
- Menyadari keterbatasan energi
- Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
- Tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas
Keterangan skala :
1. Tidak sama sekali
2. Ringan
3. Sedang
4. Berat
5. Sangat berat
NIC : Pengelolaan energi
- Pantau respon oksigen pasien
- Pantau asupan nutrisi untuk memastikan keadekuatan sumber-sumber energi
- Pantau/dokumentasikan pola istirahat pasien dan lamanya waktu tidur
- Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik dan/atau rekreasi untuk merencanakan dan memantau program aktivitas, sesuai dengan kebutuhan
- Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bertandar, duduk, berdiri dan ambulasi yang dapat ditoleransi
Dx II : Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran gas normal
NOC : Status pernapasan; pertukaran gas
Kriteria hasil :
- Status neurologis dalam rentang yang diharapkan
- Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada
- Gelisah, sianosis, dan keletihan tidak
- Saturasi oksigen normal
Keterangan skala :
1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Pengelolaan jalan napas
- Kaji bunyi paru, frekuensi napas, kedalaman dan usaha, dan produksi sputum sesuai dengan indikator dari penggunaan alat penunjang yang efektif
- Pantau satuasi O2
- Pantau status pernapasan dan oksigensi sesuai dengan kebutuhan
Dx III : Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi Hb darah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi gangguan perfusi jaringan perifer
NOC : Perfusi jaringan; perifer
- TD dalam rentang yang diharapkan
- Denyut proksimal dan perifer distal kuat dan simetris
- Tingkat sensasi normal
- Fungsi otot utuh
- Kulit utuh, warna normal
- Suhu ekstremitas hangat
- Tidak ada nyeri ekstremitas yang terlokalisasi
Keterangan skala :
1. Esktrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak terganggu
NIC : Penatalaksanaan sensasi perfier
- Melakukan sirkulasi perifer secara komprehensif (misal: periksa nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan suhu ekstremitas)
- Kaji rasa tidak nyaman
- Berikan pengobatan anti trombosit atau anti koagulan jika diperlukan
- Hindari atau dengan seksama pantau penggunaan alat yang panas/dingin
- Tinggikan anggota badan yang terkena 20o atau lebih tinggi dari jantung untuk meningkatkan aliran darah balik vena
Dx IV : Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko cidera terkontrol dan berkurang
NOC : Kontrol resiko
- Mengetahui resiko
- Memonitor faktor resiko lingkungan
- Memonitor faktor resiko perilaku individu
- Mengembangkan strategi kontrol resiko yang efektif
- Memonitor perubahan status kesehatan
Keterangan skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC : Manajemen keamanan lingkungan
- Identifikasi tingkat kebutuhan pasien akan keamanan
- Identifikasi bahaya yang ada di lingkungannya
- Atur lingkungan untuk meminimalkan resiko cidera
- Gunakan alat pelindung atas situasi yang berbahaya
- Monitor lingkungan untuk perubahan status keamanan
Dx V : Cemas berhubungan dengan penurunan cardiac output jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas berkurang
NOC : Kontrol ansietas
- Mempertahankan penampilan peran
- Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik
- Manifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada
Keterangan skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC : Pengurangan ansietas
- Kaji tingkat kecemasan pasien
- Instruksikan pasien penggunaan teknis relaksasi
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan
- Beri dorongan kepada orang tua untuk menerima anak sesuai dengan kebutuhan

D. EVALUASI
Dx I Skala
- Menyadari keterbatasan energi 4
- Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat 4
- Tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas 4

Dx II
- Status neurologis dalam rentang yang diharapkan 4
- Dispnea pada saat istirahat dan aktivitas tidak ada 4
- Gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada 4
- Saturasi oksigen normal 4

Dx III
- TD dalam rentang yang diharapkan 4
- Denyut proksimal dan perifer distal kuat dan simetris 4
- Tingkat sensasi normal 4
- Fungsi otot utuh 4
- Kulit utuh, warna normal 4
- Suhu ekstremitas hangat 4
- Tidak ada nyeri ekstremitas yang terlokalisasi 4
Dx IV
- Mengetahui resiko 4
- Memonitor faktor resiko lingkungan 4
- Memonitor faktor resiko perilaku individu 4
- Mengembangkan strategi kontrol resiko yang efektif 4
- Memonitor perubahan status kesehatan 4
Dx V
- Mempertahankan penampilan peran 4
- Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik 4
- Manifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada 4
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Sudarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Aesculapius.

Price, Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC.

Yatim, Faisal. 2003. Talasemia Leukimia dan Anemia. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Hukum Islam di Indonesia

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
Bagian I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
  1. B. Maksud dan Tujuan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam yang ada di pada Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, yang kemudian penulisan makalah ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memeberikan manfaat baik untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. walaupun tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
  1. C. Identifikasi Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada :
  1. Masa Prapenjajahan Belanda
  2. Masa Penjajahan Belanda
  3. Masa Pendudukan Jepang
  4. Masa Kemerdekaan (1945)
  5. Era Orde Lama dan Orde Baru
  6. Era Reformasi
Bagian II
Pembahasan
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
-         Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
-         Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
-         Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
—        Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
—        Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
—        Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
—        Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
-         Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
-         Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
-         Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
-         Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
-         Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
-         Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
Bagian III
PENUTUP
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gonorrhea

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gonorrhea
A. DEFINISI
Gonorhea adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea yang penularannya melalui hubungan kelamin baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital. Penyakit ini menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan konjungtiva.
B. PENYEBARAN
Gonore dapat menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lain terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonore bisa menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam panggul sehingga menyebabkan nyeri pinggul dan gangguan reproduksi.
C. ETIOLOGI
- Penyebab pasti penyakit gonore adalah bakteri Neisseria gonorrhea yang bersifat patogen.
- Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang pada wanita yang belum pubertas.
D. MANIFESTASI KLINIS
Pada pria:
- Gejala awal gonore biasanya timbul dalam waktu 2-7 hari setelah terinfeksi
- Gejalanya berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra kemudian diikuti nyeri ketika berkemih
- Disuria yang timbul mendadak, rasa buang air kecil disertai dengan keluarnya lendir mukoid dari uretra
- Retensi urin akibat inflamasi prostat
- Keluarnya nanah dari penis.
Pada wanita:
- Gejala awal biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi
- Penderita seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu atau bulan (asimtomatis)
- Jika timbul gejala, biasanya bersifat ringan. Namun, beberapa penderita menunjukkan gejala yang berat seperti desakan untuk berkemih
- Nyeri ketika berkemih
- Keluarnya cairan dari vagina
- Demam
- Infeksi dapat menyerang leher rahim, rahim, indung telur, uretra, dan rektum serta menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual
Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubunga seks melalui anus, dapat menderita gonore di rektumnya. Penderita akan merasa tidak nyaman disekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah disekitar anus tampak merah dan kasar serta tinja terbungkus oleh lendir dan nanah.
E. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan pembantu yang terdiri atas 15 tahap, yaitu:
1. Sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan ditemukan diplokokus gram negatif, intraseluler dan ekstraseluler, leukosit polimorfonuklear.
2. Kultur untuk identifikasi perlu atau tidaknya dilakukan pembiakan kultur. Menggunakan media transport dan media pertumbuhan.
3. Tes definitif, tes oksidasi (semua golongan Neisseria akan bereaksi positif), tes fermentasi (kuman gonokokus hanya meragikan glukosa)
4. Tes beta laktamase, hasil tes positif ditunjukkan dengan perubahan warna kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta laktamase
5. Tes Thomson dengan menampung urin pagi dalam dua gelas. Tes ini digunakan untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah berlangsung.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi pada pria:
- Prostatitis
- Cowperitis
- Vesikulitis seminalis
- Epididimitis
- Cystitis dan infeksi traktus urinarius superior
Komplikasi pada wanita:
- Komplikasi uretra
- Bartholinitus
- Endometritis dan metritis
- Salphingitis
G. PENGOBATAN
1. Medikamentosa
o Walaupun semua gonokokus sebelumnya sangansensitif terhadap penicilin, banyak ‘strain’ yang sekarang relatif resisten. Terapi penicillin, amoksisilin, dan tetrasiklin masih tetap merupakan pengobatan pilihan.
o Untuk sebagian besar infeksi, penicillin G dalam aqua 4,8 unit ditambah 1 gr probonesid per- oral sebelum penyuntikan penicillin merupakan pengobatan yang memadai.
o Spectinomycin berguna untuk penyakit gonokokus yang resisten dan penderita yang peka terhadap penicillin. Dosis: 2 gr IM untuk pria dan 4 gr untuk wanita.
o Pengobatan jangka panjang diperlukan untuk endokarditis dan meningitis gonokokus.
2. Non-medikamentosa
Memberikan pendidikan kepada klien dengan menjelaskan tentang:
o Bahaya penyakit menular seksual
o Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan
o Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan seks tetapnya
o Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika tidak dapat dihindari.
o Cara-cara menghindari infeksi PMS di masa yang akan datang.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa dan Intervensi
· Nyeri b.d reaksi infeksi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien akan:
- Mengenali faktor penyebab
- Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri
- Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
- Melaporkan nyeri yang sudah terkontrol
Intervensi:
a) Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi.
b) Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
c) Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat mengekspresikan nyeri
d) Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
e) Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan (ex.: temperatur ruangan, penyinaran, dll)
f) Ajarkan penggunaan teknik non farmakologik (ex.: relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massage, TENS, hipnotis, terapi aktivitas)
g) Berikan analgesik sesuai anjuran
h) Tingkatkan tidur atau istirahat yang cukup
i) Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan.
· Hipertermi b.d reaksi inflamasi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien akan:
- Suhu dalam rentang normal
- Nadi dan RR dalam rentang normal
- Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
Intervensi:
a) Monitor vital sign
b) Monitor suhu minimal 2 jam
c) Monitor warna kulit
d) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
e) Selimuti klien untuk mencegah hilangnya panas tubuh
f) Kompres klien pada lipat paha dan aksila
g) Berikan antipiretik bila perlu
· Perubahan pola eliminasi urin b.d proses inflamasi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien akan:
- Urin akan menjadi kontinens
- Eliminasi urin tidak akan terganggu: bau, jumlah, warna urin dalam rentang yang diharapkan dan pengeluaran urin tanpa disertai nyeri
Intervensi:
a) Pantau eliminasi urin meliputi: frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan warna dengan tepat
b) Rujuk pada ahli urologi bila penyebab akut ditemukan
· Cemas b.d penyakit
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien akan:
- Tidak ada tanda-tanda kecemasan
- Melaporkan penurunan durasi dan episode cemas
- Melaporkan pemenuhan kebutuhan tidur adekuat
- Menunjukkan fleksibilitas peran
Intervensi:
a) Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan (takikardi, takipneu, ekspresi cemas non verbal)
b) Temani klien untuk mendukung kecemasan dan rasa takut
c) Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
d) Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat
e) Sediakan informasi aktual tentang diagnosa, penanganan, dan prognosis
· Risiko penularan b.d kurang pengetahuan tentang sifat menular dari penyakit
Tujuan:
Dapat meminimalkan terjadinya penularan penyakit pada orang lain
Intervensi:
Berikan pendidikan kesehatan kepada klien dengan menjelaskan tentang:
- Bahaya penyakit menular
- Pentingnya memetuhi pengobatan yang diberikan
- Jelaskan cara penularan PMS dan perlunya untuk setia pada pasangan
- Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika tidak dapat menghindarinya.
· Harga diri rendah b.d penyakit
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien akan mengekspresikan pandangan positif untuk masa depan dan memulai kembali tingkatan fungsi sebelumnya dengan indikator:
- Mengindentifikasi aspek-aspek positif diri
- Menganalisis perilaku sendiri dan konsekuensinya
- Mengidentifikasi cara-cara menggunakan kontrol dan mempengaruhi hasil
Intervensi:
a) Bantu individu dalam mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan
b) Dorong klien untuk membayangkan masa depan dan hasil positif dari kehidupan
c) Perkuat kemampuan dan karakter positif (misal: hobi, keterampilan, penampilan, pekerjaan)
d) Bantu klien menerima perasaan positif dan negatif
e) Bantu dalam mengidentifikasi tanggung jawab sendiri dan kontrol situasi
I. BIBLIOGRAFI
Lachlan, MC. 1987. Buku Pedoman Diagnosis dan Penyakit Kelamin. Ilmiah Kedokteran: Yogyakarta.
Natadidjaja, hendarto. 1990. Kapita Selekta Kedokteran. Bina Rupa Aksara: Jakarta.
Prof. DR. Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Wikinson, Judith M. 2006. Buku saku DIAGNOSIS KEPERAWATAN. Penerbit buku kedokteran EGC.
Carpenito, Lynda J. 2001. Buku saku DIAGNOSA KEPERAWATAN Edisi 8. Penerbit buku kedokteran EGC.