SEJARAH SINGKAT MANDOMAI
Kecamatan Kapuas Barat (Mandomai) terletak di daerah pesisir bantaran sungai Kapuas, di masa lalu Mandomai ini bernama Tacang Tanggoehan sekitar abad ke-17, pada saat perang Kasintu pecah, orang-orang yang berada di daerah Tacang Tanggoehan pun mengungsi ke daerah Pulau Petak, sekitar tahun 1803-an mereka kembali lagi ke daerah Tacang Tanggoehan dan membangun dua buah rumah betang yang disebut “huma gantung”(rumah tinggi) atau “huma hai”(rumah besar) yang terletak di sebelah hulu sungai Mandomai , panjang bangunan ini menurut sumber saksi sejarah yang sempat menyaksikan keberadaan bangunan ini panjangnya berkisar 50 meter lebih dengan lebar 30 meter, dan dari tulisan Muhammad Kurdi (1936) disebutkan bahwa bangunan ini dihuni oleh 50 kepala keluarga dalam satu rumah betang tersebut, hingga saat ini sebagian puing-puing bangunan tersebut masih tersisa, konstruksi bangunan ini menggunakan kayu ulin (kayu besi) dan situs yang masih kokoh berdiri dilokasi tersebut adalah dua buah sandung, hanya saja sangat disayangkan beberapa situs penting dalam sejarah ini dirusak dan dimanfaatkan untuk kepentingan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab.
MENILIK SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI MANDOMAI
Seperti penyebaran Islam yang ada di daerah umum lainnya, Islam masuk ke daerah Mandomai melewati jalur perniagaan, pedagang dari daerah Kuin, Bandarmasih (Banjarmasin) KAL-SEL yang sudah terlebih dahulu memeluk Agama Islam ini mensyiarkan Islam sambil melakukan aktifitas perdagangannya, diperkirakan Islam masuk ke daerah Mandomai ini sekitar abad ke-18, para penghuni “huma hai” pun tertarik dengan ajaran Islam yang menurut mereka sangat relevan dengan kehidupan manusia, penyebaran Islam begitu pesat di Mandomai, hal ini terbukti dari adanya pembauran budaya setempat dengan corak budaya Islam, seperti nisan makam yang berbentuk tinggi seperti sapundu (titian menuju surga menurut ajaran agama Kaharingan) berukirkan kaligrafi arab di sebuah makam seorang penghuni “huma hai” yaitu Oedjan.
Perkembangan Islam di Mandomai ini berkaitan erat dengan seorang tokoh di “huma hai” yaitu Oedjan ini, ayah Oedjan berasal dari daerah Palingkau, tepatnya Doesoen Timoer Patai, Oedjan adalah anak dari Damboeng Doijoe yang juga disebut seorang Temenggung Madoedoe sepupu dari Soetawana ayah Soetarnoe di Tamiang Layang, Temenggung Madoedoe ini anak dari Djampi yang merupakan kakek dari Oedjan yang sudah memeluk Ajaran Islam. Oedjan ini menikah dengan seorang gadis keturunan Portugis yang bernama Makau (Saleh), dari perkawinannya ini mereka di anugerahi 9 orang anak yaitu Sahaboe, Oemar, Aloeh, Galoeh, Soci, Ali, Esah, Tarih, dan Njai.
a. Hubungan kekerabatan ‘huma hai” dan orang Kuin, Bandarmasih
Abdullah bin Abu Samal memiliki dua orang Isteri, yang pertama beliau beristeri dengan Seah binti Akuh bin Aboe Naim yang masih keturunan Habib Pajar, kemudian isteri beliau yang kedua adalah Datuk Mantjung, dari istrinya yang pertama beliau dianugerahi 7 orang anak dan dari isterinya yang kedua beliau dianugerahi 6 orang anak. Yang berkaitan erat hubungannya dalam perkembangan Islam adalah berbesannya Abdullah bin Abu Samal dengan Oedjan bin Damboeng bin Djampi, yakni anak dari Abdullah bin Abu Samal dengan isterinya yang pertama yaitu KH. Abdul Gapoer dengan anaknya Oedjan bin Damboeng dari isterinya yang bernama Makau (Saleh) yaitu anaknya yang ke-7 bernama Esah, dari pernikahan ini lahir 2 orang putra yang berpengaruh dalam perkembangan Islam maupun perjuangan mencapai kemerdekaan yakni Igak dan H.M. Sanoesi yang sekarang makamnya ada di makam pahlawan di Kabupaten Pulang Pisau. Menurut sumber sejarah dikatakan bahwa Abu Samal yang merupakan ayah dari Abdullah adalah masih kerabat dekat dengan Raja Banjar yaitu Sultan Suriansyah yang kubahnya sekarang ada di Kuin, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
b. Pesatnya perkembangan Islam ditandai dengan dibangunnya sarana tempat ibadah.
Pada tahun 1903, tepatnya pada tanggal 04-08-1903 didirikanlah sebuah Mesjid Jami Al-Ikhlas, yang di prakarsai oleh 4 tokoh masyarakat yaitu Rahman Abdi bin H. Muhammad Arsyad (Kuin), Abdullah bin H. Muhammad (penghulu Mandomai), Sabri bin H.Muchtar, Sahaboe bin H. Muhammad Aspar. Nama-nama para pemprakarsa pembangunan mesjid ini terpahat di 4 tiang mesjid Jami Al-Ikhlas ini yang disebut “4 tiang guru”. H. Muhammad Aspar ini sepupunya H. Muhammad Sanoesi dan Igak yang juga keponakan dari KH. Abdul Gapoer (Tokoh syiar Islam di Mandomai). Mesjid ini dilihat dari arsitekturnya mengadopsi dari arsitek mesjid-mesjid yang ada di Kalimantan Selatan, bangunannya hampir serupa dengan Mesjid Jami yang ada di kelurahan Mambulau ketika belum di renovasi, yang selama ini di klaim sebagai Mesjid tertua yang ada di Kabupaten Kapuas, namun dari bukti sejarah yang telah kami telusuri dan terdapat bukti-bukti kebenaran sejarahnya, ternyata mesjid tertua yang ada di kabupaten Kapuas adalah Mesjid Jami Al-Ikhlas yang menurut perhitungan penanggalan tahun masehi sudah berusia kurang lebih 107 tahun, ini dihitung dari peletakan batu pertama pembangunannya sampai dengan sekarang, mesjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi dengan tidak merubah bentuk aslinya secara keseluruhan, namun bentuk kubah, dinding, atap, bentuk jendela dan pintunya sudah mengalami perubahan. Selama ini mesjid bersejarah ini kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah, artikel singkat ini sengaja kami susun dengan penilitian yang seksama agar kiranya nilai sejarah perkembangan Islam di Kecamatan Kapuas Barat, Kelurahan Mandomai ini tidak terlupakan oleh kaum muslimin dan muslimat di Kabupaten Kapuas yang mencintai akar sejarah penyebaran ajaran agamanya dan menjadi semangat baru dalam syiar agama Islam dimasa yang akan datang.
c. Sejarah ringkas keturunan penulis dengan para pendahulu syiar Islam di Mandomai.
Penulis merasa penting untuk memuat silsilah ini, karena hal inilah yang jadi motivasi kami agar sejarah leluhur/pendahulu kami yang mensyiarkan ajaran Islam tidak terabaikan hasil kerja keras mereka dalam membangun mesjid tertua di kabupaten Kapuas yang merupakan pusat pembinaan umat dari semenjak dahulu hingga sekarang.
I. Abdullah bin Abu Samal menikah dengan Seah binti Akuh bin Aboe Naim keturunan Habib Pajar.
II. KH. Abdul Gapoer bin Abdullah menikah dengan Esah binti Oedjan bin Damboeng bin Djampi.
III. Igak bin KH. Abdul Gapoer menikah dengan Astareah bin Ali bin Oedjan.
IV. Muhammad Kurdi bin Igak menikah dengan Hj. Darsih binti Djunit.
V. Kartini binti Muhammad Kurdi menikah dengan Alwi bin Usman.
VI. Syuriansyah bin Alwi bin Usman menikah Norhayati binti Ahmad Zailani.
VII. Norharliansyah bin Syuriansyah bin Alwi bin Usman bin Umar bin Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar